Ini adalah sebuah kisah yang sangat inspiratif dan patut dijadikan pelajaran berharga.
Walaupun ini bukan kisahku, tapi ini sama persis dengan kisah yang ku lalui... Kupersembahkan untuk Kakak-kakaku Tercinta....
Di perjalanan, pemuda itu terbiasa menyapa dan mengajak bicara siapa saja yang berdiri di dekatnya ataupun yang duduk di sebelahnya. Setelah itu ia tergantung pada lawan bicaranya, jika mereka merasa nyaman, dia akan menyerahkan kemampuannya brakrab-akrab Dia akan mneghanyut bersama mereka dalam perbincangan yang mengasikkan. Tapi jika yang disapa merasa terganggu, dia akan kembali mengakrabi buku yang telah ia siapkan. Sebelum meletakkan bagasi di ruang penyimpanan atas, dia tak pernah lupa membuka tas punggungnya, mengeluarkan sebuah buku dan melemparnya ke kursi. Setelah itu duduk.
Hari itu, yang duduk disampingnya dalam perjalanan Jakarta-Singapura tampak tak biasa. Seorang ibu. Sudah cukup sepuh dengan keriput wajah mulai mengayut. Kerudungnya kusut, sendal jepit sederhana. Dan dalam pandangan si pemuda, beliau tampak agak udik, Tenaga kerja? Setua ini?
Tetapi begitu si pemuda menyapa, si ibu tersenyum padanya, dan tampaklah raut muka sumringah dan merdeka. Sekilas, garis -garis ketuaan diwajahnya menjelma menjadi semrungat cahaya kebijaksanaan. Si pemuda takjib.
"Ibu hendak kemana?" Tanyanya sambil tersenyum, ta'zhim.
"Singapura Nak" senyum sang ibu bersahaja.
"Akan bekerja atau....??"
"Bkan nan, Anak ibu yang nomor dua bekerja disana. Ini mau nengok cucu. Kebetulan menantu ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka"
Si pemuda sudah merasa tidak enak atas pertanyaannya barusan. Kini dia mencoba lebih hati-hati.
" Oh, putra ibu sudah lama bekerja disana????
"Alhamdulillah lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe.. Yang jelas disana jadi arsitek. Tukang gambar gedung"
Si Pemuda tertegun, Arsitek? PR di Singapura? Hebat.
"Oh iya, putra ibu ada berapa?"
"Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di Singapura ini yang nomor 2, yang No 3 sudah jadi dokter bedah di Jakarta. Yang no.4 sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapat beasiswa.
"MasyaAllah" Luar biasa Alangkah bahagianya menjadi ibu dari putra-putra sukses. Saya kagum sekali pada Ibu yang berhasil mendidik mereka " Si pemuda mengerjapkan mata dan mendecakkan lidah.
Si Ibu mengangguk-angguk dan berulang kali berucap "Alhamdulillah " Lirih. Matanya berkaca-kaca.
"Oh..iya bu, Bgaimana dengan putra ibu yang pertama?"
Si Ibu menundukkan kepala. Sejenak tanggannya memainkan sabut keselamatan yang terpasang di pinggang. Lalu dia tatap lekat-lekat si pemuda. "Dia tinggal dikampung Nak, bersama dengan Ibu" Dia bertani, meneruskan menggarap secuil sawah peninggalan bapaknya" Si Ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang ke arah jendela sambil mengulum senyum yang entah apa artinya. Si Pemuda menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.
"Maaf bu, kalau pertanyaan saya mengganggu Ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tiidak bisa membanggakan putra pertertama ibu sebagaimana putra-putra yang lain."
"Oh, tidak Nak, Bukan begitu" si ibu cepat-cepat nenatap tajam, namun lembut pada si pemuda "Ibu justru sangat bangga pada pada putra pertama Ibu. Sangat-sangat bangga. Sangat-sangat bangga!" Si Ibu menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan mata berbinar seolah dialah putra pertamanya.
"Ibu bangga sekali padanya, karena dialah yang rela membanting tulang, dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa medorong, menasehati dan mengirimi surat penyemangat di saat mereka di rantau. "Tanpa dia, adikknya tidak akan mungkin jadi seperti sekarang ini" Sang ibu terisak.
Sunyi.. Tak ada kata..
Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan di matanya Tumpah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar